Tradisi tolak bala jaman dulu di kota Blitar
Salah satu dokumen gambar pada tahun 1880 menceritakan, tampak harimau dilepas dari kerangkengnya dan siap dijadikan kurban. Ada yang ditombak beramai-ramai. Bahkan ada manusia yang berani melawan seorang diri. Prajurit yang bisa mengalahkan harimau ini selain akan mendapat hadiah juga akan naik pangkat dan jabatannya.
"Dalam legenda lain juga diceritakan, sebelum Rampokan Macan dimulai, Bupati Warso Koesomo akan melecutkan Pecut Samandiman. Ada mitos yang diyakini saat itu, dengan melecutkan Pecut Samandiman dan menggelar Rampogan Macam bisa menjadi tolak bala dan terhindarnya Blitar dari wabah dan erupsi Gunung Kelud," tambah Ferry.
Dalam Bukunya Kartawibawa menggambarkan, ribuan pria yang memegang tombak mengitari alun-alun membentuk barikade. Dalam pertunjukan tersebut orang-orang beradu nyali memamerkan kehebatan dan keampuhan tombak atau senjata pusaka masing-masing. Di tengah, kandang-kandang yang kelewat sempit untuk harimau kemudian dibuka.
Harimau itu dipaksa untuk menghadapi tajamnya tombak-tombak masyarakat. Satu harimau versus ribuan pria bersenjatakan tombak. Supaya harimau itu keluar dari kandangnya dan berlarian menerjang barikade tombak, maka massa di alun-alun bersorak.
Bila harimau masih diam saja, biasanya mercon besar dinyalakan atau ada orang yang memancing dengan senjata agar harimau itu mengamuk di alun-alun.
Harimau yang kebingungan mencoba menerjang barikade orang-orang yang memegang tombak. Bagaikan sapu lidi, tombak-tombak tajam yang diarahkan membuat tubuh dan kepala harimau terluka dan membuat harimau berlari ke sisi barikade yang lain. Begitu seterusnya harimau yang kebingungan akan mati kehabisan darah atau diam di tengah menunggu ribuan tombak mengoyak badannya sampai mati.