-->

Review movie non spoiler GEMINI MAN

CUAP-CUAP “Gemini Man”




📍 Transmart Ngagel XXI

📅⏰ Sabtu, 5 Oktober 2019, 23.25 WIB

Bagi yang belum tahu, “Gemini Man” adalah hasil jadi dari sebuah proyek yang dimulai sekitar 20 tahun lalu. Kisah seorang pembunuh bayaran yang diburu oleh klon dirinya yang lebih muda ini telah bolak-balik hendak diangkat ke layar lebar oleh sejumlah sineas dengan naskah yang terus-menerus ditulis ulang. Nama-nama aktor seperti Harrison Ford, Nicholas Cage, Mel Gibson, Brad Pitt, hingga Tom Cruise juga disebut-sebut turut terkait dengan proyek ini.

Hingga akhirnya dua dekade berlalu, sineas kawakan Ang Lee mendapatkan tugas penyutradaraan bersama Will Smith sebagai bintang utamanya. Setelah menghasilkan mahakarya memukau —
secara emosional maupun visual lewat “Life of Pi” yang memenangkan penghargaan Visual Efek Terbaik pada Oscar 2013, Lee menangani “Gemini Man” sebagai ‘blockbuster’ berbujet tinggi selanjutnya. Lewat “Gemini Man” Lee memang berhasil menyajikan satu lagi sajian seni sinematik indah yang sayangnya tidak selaras dengan narasinya.

Sebagai seorang pembuat film yang ambisius, Lee kembali menerapkan terobosan teknologi digital mutakhir di film terbarunya ini. “Gemini Man” disyut menggunakan metode 120fps (frame per second), tingkat bingkai tertinggi untuk sebuah film yang pernah dibuat. Umumnya, standar film hanya 24 bingkai per detik.

Sebelum aku melanjutkan Cuap-cuap ini, aku hendak menjelaskan sedikit soal tingkat bingkai dan mengapa aspek ini perlu menjadi sorotan dalam ulasan “Gemini Man”. Seperti yang kita tahu, sebuah film adalah gambar bergerak. Satu film utuh itu sebenarnya tersusun dari banyak sekali rangkaian gambar yang ditampilkan berurutan secara cepat sehingga kita terkesan menonton video.

Proyektor bioskop — di Indonesia umumnya menayangkan film dalam format 60fps — berkerja dengan memutar sekaligus menyinari gulungan rangkaian film yang panjang.  Semakin banyak gambar dan semakin cepat transisi dari satu gambar dengan gambar berikutnya, semakin nyata pula gerakan dari gambar-gambar tersebut. Sekarang paham ‘kan bagaimana jernihnya “Gemini Man” yang dibuat dalam format 120fps?

Teknologi lain yang dipakai Lee pada “Gemini Man” adalah dalam mengkreasikan dua versi Will Smith dalam satu layar. Alih-alih memanfaatkan CGI untuk menciptakan Smith muda, Lee melakukan eksperimen lanjutan dengan teknik ‘motion capture’. Hasil kombinasi mencengangkan gabungan antara pengaplikasian teknik 120fps yang imersif dan replika digital Smith yang realistis menjadi rangkaian adegan yang sangat cemerlang dan nyata dalam gambar yang tajam; atau Lee menyebutnya sebagai 3D+.

Apa yang kita lihat akan lebih detail dalam tiap gerakan dan adegan yang seharusnya buram dalam tingkat bingkai normal. Namun, detail tersebut tidak akan bisa penonton dapati dalam plot yang tidak koheren dan rumpang. Mengusung konsep sains yang tinggi, “Gemini Man” tidak menjadi seilmiah yang dipikirkan. Tema kloning sebenarnya hanya selipan dalam sedikit adegan laga dan banyak dialog.

Setelah terakhir kali merangkai adegan pertarungan masif dalam “Hulk” pada 2003 lalu, Lee terlihat tidak bisa menyeimbangkan kadar ‘action’, drama, serta visual yang paling ia tonjolkan di sini. “Gemini Man” hanya mempunyai satu sekuen laga intens yang melibatkan kejar-kejaran sepeda motor di Cartagena, Kolombia. Mengecewakannya, adegan aksi luar biasa tersebut ditampilkan menjelang pertengahan film dan Lee menyisakan pada kita klimaks lemah yang terlalu bergantung pada adegan tembak-tembakan di babak akhir film.

Baik aksi maupun isu yang diusung sama-sama tidak mampu meningkatkan substansi emosional “Gemini Man”. Kita tahu, film-film dalam rekam jejak seorang Ang Lee dikenal dalam menampilkan eksplorasi terhadap perasaan tertekan dan emosi yang tersembunyi pada karakter-karakternya. “Gemini Man” dalam beberapa momen yang melibatkan Junior — karakter Smith muda — mampu memperlihatkan hal-hal tersebut, namun dalam banyak sisa film, Lee canggung memainkan psikis karakter berikut penontonnya; hal yang selama ini adalah keahliannya.

Bagian yang seharusnya menjadi paling emosional dalam film di mana Smith dewasa dan Junior bertemu malah menjadi titik balik alur yang tidak diperlukan. Babak pertama dan kedua yang memikat seketika berubah haluan beriringan dengan Junior yang mengalami dilema ketika mempertanyakan eksistensi dirinya setelah konfrontasi dengan versi tuanya di sebuah katakomba di Budhapest.

Untungnya Will Smith itu sendiri menjadi hal terbaik selanjutnya setelah aspek visual dalam “Gemini Man”. Ia berkerja dua kali lebih keras dalam memerankan karakter gandanya yang saling berefleksi, namun juga penuh kontradiksi. Yang satu sudah cukup tua untuk banyak pengalaman dan bersikap bijak, yang satu masih naif dan keras kepala. Dan begitulah kualitas aktor besar, Smith seolah tidak bingung memvariasikan karakter dobel.

Berkat performanya, film yang mengusung konflik yang sudah usang ini — di mana seorang agen terjebak dalam konspirasi spionase oleh lembaganya sendiri — bisa terangkat. Bahkan jika harus menambahkan sentuhan teknologi mutakhir dan unsur cerita seseorang diburu oleh dirinya sendiri, “Gemini Man” masih tidak terlihat segar.

Penampilan Mary Elizabeth Winstead sebagai lawan main wanita utama juga adalah poin positif lainnya. Ia mampu mengimbangi kilau bintang seorang Smith dalam peran deuteragonis yang juga tangguh. Senang bagaimana para penulis naskah membuat relasi antara Smith dan Winstead tidak jatuh ke dalam reluk roman picisan.

Benedict Wong yang sebatas tampil sebagai ‘sidekick’ menambah satu lagi figuran yang terbuang sia-sia. Dan Clive Owen sebagai ‘villain’ hadir tidak fenomenal. Karakternya yang satu dimensi dengan motivasi ringkih serta tidak jelas seolah mengulang perannya dalam “Valerian and the City of A Thousand Planets”. Aku lebih berharap Ben Mendelsohn (Rouge One: A Star Wars Story, Ready Player One, Robin Hood) memerankan antagonis utama di sini serta bermain-main dalam perannya tersebut untuk menambah lapisan pada karakteristik bos jahat yang memorabel.

“Gemini Man” bisa menjadi sebuah aksi-sci-fi menarik jika babak ketiga dibuat seseru babak awal dan pertengahan film serta mempertahankan intensitas cerita dengan seimbang. Beginilah jadinya jika kalian menunjuk tiga penulis dengan filmografi berbeda: David Benioff (X-Men Origins: Wolverine), Billy Ray (Captain Phillips), dan Darrem Lemke (Goosebumps) untuk menggarap skrip dari ide yang terbengkalai sejak 20 tahun lalu.

Lee berikut tim VFX-nya berhak mendapatkan kredit lebih untuk sinematografi, departemen seni, dan efek visual yang telah menghadirkan kualitas teknis film yang harus diakui sangat apik. Keren dan uniknya film ini berkat 3D+ dengan presentasi 120fps seharusnya bisa diimbangi oleh konten cerita yang lebih bisa dikembangkan potensinya dan naskah yang digarap lebih maksimal. “Gemimi Man” adalah bukti kemajuan dalam industri perfilman sekaligus tanda masih terbelakangnya aspek cerita dalam genre aksi.

“Gemini Man” tayang reguler mulai Rabu besok dan dapatkan pengalaman sinematik lebih dengan menyaksikanya di sejumlah bioskop terpilih yang menyediakan 3D.

Skor total: 4.8/10

Tuliskan review  versi kalian di kolom komentar yah

Berlangganan update artikel terbaru via email:

Iklan Atas Artikel

Iklan Tengah Artikel 1

Iklan Tengah Artikel 2

Iklan Bawah Artikel