Preview film Laundry show 2019
[Review]
Laundry Show (2019)
Rate: 6,5/10
Punya penulis skenario sekelas Upi belum tentu menjadi jaminan kalau sebuah film itu bisa terjamin kualitasnya. Semua tergantung dari sutradara dan rumah produksi serta seberapa niat film ini.
Bagi gue, Laundry Show udah lumayan untuk sebuah film bergenre drama-komedi. Film ini memiliki cerita yang menjanjikan dan terbilang fresh serta membawakan sudut pandang dari bos-bos yang buka usaha laundry. Ini yang paling menarik saya buat menonton film ini.
Dari awal hingga menit ke 50 film ini berjalan dengan baik. Diperlihatkan perjuangan susahnya jadi bos. Lalu sisanya, wah, ketika konflik masuk, ketika Gisel masuk, everyhting fucked up. Semuanya kacau balau sekali rasanya.
Film ini punya potensi yang bagus yang terasa di sia-siakan. Padahal, tentang laundry di riset secara mendalam dan seolah-olah, Upi memang pernah buka usaha laundry hingga ia tau seluk beluk nya.
Namun ternyata, film ini pada ujungnya malah menjadi sebuah ftv dimana Boy William yang awalnya saingan dengan Gisel jadi cinta. Romance ini yang jadi masalah utama dalam film ini. Boleh ada, tapi seharusnya pada ujung-ujungnya jadi fokus utama. Padahal, bukannya fokus utama film ini mengejar kesuksesan?
Filmnya terbilang predictible arahnya kemana, joke nya kadang lucu kadang enggak, tapi setidaknya desain artistik film ini terbilang sangat niat sekali. Mainin warna nya juga terbilang niat.
Gue ngerasa, Boy William masih belum pantas memerankan sosok Kokoh ini karena sepanjang film, gue ngerasa dia emang berusaha keras untung enggak ngomong Inggris dan susah banget, kedengaran banget sama gue dia berusaha nahan itu tapi jatuhnya tiap kali dia ngomong, apalagi pas marah-marah, gue malah agak...gimana ya bilangnya? Hahah. Susah.
Film ini juga masih mainin stereotipe seperti permainan logat-logat bermacam-macam daerah digunakan, tapi buat apa? Diversity atau buat nonjolin karakter? Kalau buat nonjolin karakter, maka yang satu-satunya berhasil adalah Tissa Biani.
Gue juga harus mengapresiasi karena film ini castnya terbilang rame dan Upi mampu membagi-bagi porsi kehadiran mereka plus film ini mampu menciptakan chemistry yang baik antara Boy William dan ibunya, Boy William dengan karyawannya serta karyawan sesama karyawan.
Setidaknya, film ini mampu mengangkat kisah anak Tionghoa yang buka usaha laundry serta diperlihatkan suka dukanya. Unik dan menurut gue belum ada yang kepikiran buat ngangkat ini, bagian inilah yang paling gue apresiasi karena ditengah gencarnya film horor, muncul film seperti ini yang bisa memotivasi para pengusaha.
Overall, Laundry Show punya potensi yang bagus tapi sayang terbuang demi sebuah romance belaka. Tapi gue tetep apresiasi karena berani bedanya dan menurut gue ini film lumayam menghibur dan asik.
Laundry Show (2019)
Rate: 6,5/10
Punya penulis skenario sekelas Upi belum tentu menjadi jaminan kalau sebuah film itu bisa terjamin kualitasnya. Semua tergantung dari sutradara dan rumah produksi serta seberapa niat film ini.
Bagi gue, Laundry Show udah lumayan untuk sebuah film bergenre drama-komedi. Film ini memiliki cerita yang menjanjikan dan terbilang fresh serta membawakan sudut pandang dari bos-bos yang buka usaha laundry. Ini yang paling menarik saya buat menonton film ini.
Dari awal hingga menit ke 50 film ini berjalan dengan baik. Diperlihatkan perjuangan susahnya jadi bos. Lalu sisanya, wah, ketika konflik masuk, ketika Gisel masuk, everyhting fucked up. Semuanya kacau balau sekali rasanya.
Film ini punya potensi yang bagus yang terasa di sia-siakan. Padahal, tentang laundry di riset secara mendalam dan seolah-olah, Upi memang pernah buka usaha laundry hingga ia tau seluk beluk nya.
Namun ternyata, film ini pada ujungnya malah menjadi sebuah ftv dimana Boy William yang awalnya saingan dengan Gisel jadi cinta. Romance ini yang jadi masalah utama dalam film ini. Boleh ada, tapi seharusnya pada ujung-ujungnya jadi fokus utama. Padahal, bukannya fokus utama film ini mengejar kesuksesan?
Filmnya terbilang predictible arahnya kemana, joke nya kadang lucu kadang enggak, tapi setidaknya desain artistik film ini terbilang sangat niat sekali. Mainin warna nya juga terbilang niat.
Gue ngerasa, Boy William masih belum pantas memerankan sosok Kokoh ini karena sepanjang film, gue ngerasa dia emang berusaha keras untung enggak ngomong Inggris dan susah banget, kedengaran banget sama gue dia berusaha nahan itu tapi jatuhnya tiap kali dia ngomong, apalagi pas marah-marah, gue malah agak...gimana ya bilangnya? Hahah. Susah.
Film ini juga masih mainin stereotipe seperti permainan logat-logat bermacam-macam daerah digunakan, tapi buat apa? Diversity atau buat nonjolin karakter? Kalau buat nonjolin karakter, maka yang satu-satunya berhasil adalah Tissa Biani.
Gue juga harus mengapresiasi karena film ini castnya terbilang rame dan Upi mampu membagi-bagi porsi kehadiran mereka plus film ini mampu menciptakan chemistry yang baik antara Boy William dan ibunya, Boy William dengan karyawannya serta karyawan sesama karyawan.
Setidaknya, film ini mampu mengangkat kisah anak Tionghoa yang buka usaha laundry serta diperlihatkan suka dukanya. Unik dan menurut gue belum ada yang kepikiran buat ngangkat ini, bagian inilah yang paling gue apresiasi karena ditengah gencarnya film horor, muncul film seperti ini yang bisa memotivasi para pengusaha.
Overall, Laundry Show punya potensi yang bagus tapi sayang terbuang demi sebuah romance belaka. Tapi gue tetep apresiasi karena berani bedanya dan menurut gue ini film lumayam menghibur dan asik.